Latar Belakang
Film yang diangkat dari kisah
nyata ini memiliki latar dunia jurnalistik di Amerika Serikat pada awal era
2000-an. Kala itu, efek peralihan media massa cetak menuju media massa
elektronik baru saja dimulai. Hampir seluruh media massa cetak di Amerika
Serikat mengalami “shock therapy” dikarenakan semakin mudahnya masyarakat
mengakses dunia maya untuk mendapatkan berbagai informasi yang tak terbatas.
Media cetak harus memutar otak untuk mempertahankan pembacanya. Berangkat dari
latar belakang yang tidak terlalu ditekankan dalam film inilah, kisah sebuah
divisi khusus inventigasi Spotlight dari koran The Boston Globe dalam
mengangkat sebuah skandal menjijikkan yang lama “ditutupi” dalam otoritas
gereja Katolik di Amerika Serikat pun dimulai.
Seperti yang diketahui, Gereja
Katolik di Amerika Serikat memiliki sebuah “kekuatan” yang tidak terlihat di
balik jalannya pemerintahan negara adidaya tersebut. Seperti yang terjadi di
sebagian besar negara barat, Gereja dianggap sebagai sebuah kepanjangan tangan
Tuhan yang hampir tidak dapat disalahkan bahkan oleh hukum sekalipun. Namun,
situasi ini tidak membuat para wartawan Spotlight putus asa dalam mengungkap
berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh banyak oknum
Pastor Gereja Katolik selama kurun waktu lebih dari 30 tahun.
Tidak ada satupun media massa
yang berani mengangkat kisah ini sebagai berita, hingga tim Spotlight The
Boston Globe mulai membangun investigasinya. Hal tidak wajar ini sangat “wajar”
terjadi karena kuatnya peran institusi Gereja Katolik di dalam struktur
masyarakat bahkan sistem kenegaraan Amerika Serikat. Jadi, setiap ada kasus
yang dilaporkan oleh masyarakat, maka dengan sendirinya akan mengendap dan
hilang seperti ditelan angin. Pada sisi lainnya, The Boston Globe yang juga
merasakan tantangan hadirnya media internet membutuhkan sebuah pemberitaan yang
tidak hanya bombastis namun juga fenomenal. Maka, seorang redaktur baru yang
bernama Marty Baron pun memutuskan untuk mengangkat kisah ini sebagai berita
utama.
Proses jalannya investigasi
bukannya mudah. Tim Spotlight banyak sekali menemui hambatan baik dari
pemerintah dalam hal ini institusi hukum, Gereja, bahkan korban-korban
pelecehan yang mereka telusuri. Mau tidak mau, tim Spotlight pun harus mengurai
satu-persatu kasus skandal pelecehan seksual para pemimpin Gereja selama 30
tahun terakhir. Selain itu, tim Spotlight juga harus tetap menjaga kerahasiaan
investigasi mereka agar tidak “dicuri” oleh media berita lainnya yang kala itu
juga “haus” akan berita-berita bombastis dan fenomenal. Jargon ‘The Bad News is
a Good News’ tampaknya berlaku pada babak ini.
Singkat cerita setelah melalui
perjuangan yang panjang, investigasi Spotlight pun sampai pada titik terang
dimana kebenaran mulai terungkap. Banyak pihak yang akhirnya mendukung The
Boston Globe untuk mengangkat kisah ini dalam pemberitaan. Laporan pun mereka
rangkai dan akhirnya terbit dalam bentuk berita utama. Tidak hanya sampai
disitu, ternyata investigasi mereka menjadi pintu awal yang membuka hampir
seluruh kasus pelecehan seksual oleh oknum Pastor Gereja Katolik yang terjadi
secara sistematis di seluruh pelosok dunia. Bahkan, tim Spotlight berhasil
dianugerahi penghargaan tertinggi insan jurnalistik Pulitzer Prize for Public
Service pada tahun 2003.
Film Spotlight ini memang layak atas penghargaan Film Terbaik Oscar 2016. Tidak
hanya disampaikan dengan kemasan penuturan yang rapih dan sangat jelas, film
ini juga dimainkan oleh para actor / aktris kawakan Holywood yang tidak
diragukan lagi kemampuan aktingnya seperti Michael Keaton (Birdman), Mark
Ruffalo (Hulk), atau Rachel McAddams (Southpaw). Padahal, apa yang disampaikan
dalam film ini bukanlah sesuatu yang mudah disampaikan dan cukup mendapat
banyak tantangan dari masyarakat awam. Namun, pada akhirnya film ini pun
mendulang sebuah sukses besar diantara film-film lain yang diangkat dari kisah
nyata.
Bagi saya pribadi, film ini
merupakan sebuah informasi sekaligus bahan perenungan atas apa yang terjadi di
sistem kehidupan manusia hari-hari terakhir ini. Hampir di seluruh pelosok
dunia ini, sebuah institusi mayoritas yang memiliki peran besar dalam sistem
kemasyarakatan ternyata mampu “mengatur” jalannya kehidupan masyarakat.
Sekalipun berbasiskan agama, institusi ini tidak lepas dari berbagai
kemunafikan. Sekalipun mereka memiliki kekuatan untuk lolos dari jeratan hukum,
pada akhirnya bau busuk “bangkai” akan tetap tercium.
Spotlight adalah film yang
sangat baik untuk disaksikan. Selain kita terhibur, dapat informasi, film
tersebut juga memberikan refleksi untuk kita renungkan atas kenyataan yang
terjadi dalam sistem masyarakat di seluruh dunia pada umumnya. Spotlight juga
adalah film yang berkaitan dengan jurnalistik.
Sinopsis Cerita
Director: Tom McCarthy
Writers: Tom McCarthy, Josh Singer
Stars: Rachel McAdams, Mark Ruffalo, Michael Keaton
Pemain Film Spotlight:
Mark
Ruffalo sebagai Michael Rezendes.
Michael
Keaton sebagai Walter Robinson.
Rachel
McAdams sebagai Sacha Pfeiffer.
Brian
d'Arcy James sebagai Matt Carroll.
Gene
Amoroso sebagai Steve Kurkjian.
Film yang diangkat berdasarkan
kisah nyata. Spotlight merupakan sebuah film yang mengangkat kisah para
wartawan di harian The Boston Globe pada tahun 2001. Spotlight diambil dari
nama tim wartawan investigasi, pada media massa tertua di Amerika tersebut.
Cerita berawal dari kehadiran
Marty Baron (Liev Schreiber), pemimpin redaksi baru di The Boston Globe, yang
ingin mengungkap kasus pelecehan seksual yang terjadi pada 80 anak laki-laki di
Boston. Pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh pastor di gereja katolik, John
Geoghan. Usulan ini menjadi sebuah tantangan yang membuat tim Spotlight merasa
bersemangat. Upaya penyelidikan menjadi rumit karena pihak gereja katolik
menutup-nutupi kasus ini dari publik. Pengadilan pun memutuskan untuk menutup
kasus ini dan membiarkannya menguap begitu saja.
Namun, kendala tersebut tidak
membuat Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan
anggota tim Spotlight lainnya menyerah. Di bawah pimpinan editor Walter
Robinson (Michael Keaton), mereka dengan giat mencari saksi atas kasus
pelecehan yang telah terjadi. Semua anggota tim Spotlight menunjukkan
integritasnya sebagai jurnalis. Hingga kemudian, satu demi satu bukti berhasil
mereka dapatkan. Apakah segala upaya mereka berhasil mengungkap kasus sensitif
tersebut?
Film ini dinominasikan sebagai
film terbaik dalam ajang bergengsi Academy Awards, yang akan digelar pada 28
Februari mendatang. Film berdurasi 128 menit ini, akan membawa penonton
menghadapi situasi yang mendebarkan saat para jurnalis mencari berbagai bukti.
Anda juga akan tahu bagaimana pendekatan yang dilakukan agar para saksi korban
pelecehan mau memberikan keterangan. Tidak mudah memang mengungkap kasus yang
telah terkubur selama puluhan tahun.
Film bergaya investigasi ini
sangat berhasil mengadaptasi kejadian nyata yang terjadi. Mark Ruffalo dan
Rachel McAdams bahkan termasuk juga dalam jajaran nominasi Piala Oscar. Meski
durasi film cukup panjang, penonton dijamin tidak akan merasa bosan mengikuti
perjalanan cerita film ini. Film ini juga dinilai cukup berani karena
menyinggung beberapa lembaga di Boston yang memanfaatkan kekuasaannya untuk
berbuat tidak adil.
Pendapat
Pada pendapat saya, film
Spotlight ini menceritakan kisah nyata tentang betapa gigihnya kerja para wartawan
koran Boston Globe mengungkap kebenaran. Film ini banyak berbicara tentang
semua isntitusi keagamaan. Institusi keagaamaan seharusnya bukan cuma berbicara
tentnag “kebenaran teologis”, tetapi juga berbicara benar kalua sudah
menyangkut reality, data dan fakta. Jika institusi keagamaan menutup reality,
apalagi memalsukan data dan fakta supaya terlihat kudus dan sempurna atau
supaya cocok dengan teologinya, boleh mengakibatkan fatal. Orang-orang yang
kritis akan menemukan keagamaan justeru di luar institusi keagamaan. Dampaknya
akan muncul sikap skiptis dan tidak percaya lagi pada agama itu.
Film
ini juga berbicara tentang betapa pentingnya sebuah laporan jurnalistik yang
benar dan berkualitas. Public membutuhkan berita dan laporan yang benar didasarkan
atas data dan fakta, bukan ‘kata akan pejabat ini’ atau ‘apa kata organisasi
itu’. Pengumpulan data dan fakta ini pun perlu dilakukan secara professional,
obyektif, akuntabel, tanpa agenda tertentu sehingga laporannya tidak bias. Di
Indonesia, karya jurnalistik semacam ini langka. Banyak media Cuma
memberitahukan hal-hal bombatis tanpa berfikir panjang karena mengejar tayang
tersebut. Hari ini kita membutuhkan
institusi keagamaan yang mau terbuka terhadap kebenaran yang didasarkan data
dan fakta bukan cuma kebenaran teologis.