Jumaat, 16 Disember 2016

Review Film Spotlight




Latar Belakang
Film yang diangkat dari kisah nyata ini memiliki latar dunia jurnalistik di Amerika Serikat pada awal era 2000-an. Kala itu, efek peralihan media massa cetak menuju media massa elektronik baru saja dimulai. Hampir seluruh media massa cetak di Amerika Serikat mengalami “shock therapy” dikarenakan semakin mudahnya masyarakat mengakses dunia maya untuk mendapatkan berbagai informasi yang tak terbatas. Media cetak harus memutar otak untuk mempertahankan pembacanya. Berangkat dari latar belakang yang tidak terlalu ditekankan dalam film inilah, kisah sebuah divisi khusus inventigasi Spotlight dari koran The Boston Globe dalam mengangkat sebuah skandal menjijikkan yang lama “ditutupi” dalam otoritas gereja Katolik di Amerika Serikat pun dimulai.

Seperti yang diketahui, Gereja Katolik di Amerika Serikat memiliki sebuah “kekuatan” yang tidak terlihat di balik jalannya pemerintahan negara adidaya tersebut. Seperti yang terjadi di sebagian besar negara barat, Gereja dianggap sebagai sebuah kepanjangan tangan Tuhan yang hampir tidak dapat disalahkan bahkan oleh hukum sekalipun. Namun, situasi ini tidak membuat para wartawan Spotlight putus asa dalam mengungkap berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh banyak oknum Pastor Gereja Katolik selama kurun waktu lebih dari 30 tahun.

Tidak ada satupun media massa yang berani mengangkat kisah ini sebagai berita, hingga tim Spotlight The Boston Globe mulai membangun investigasinya. Hal tidak wajar ini sangat “wajar” terjadi karena kuatnya peran institusi Gereja Katolik di dalam struktur masyarakat bahkan sistem kenegaraan Amerika Serikat. Jadi, setiap ada kasus yang dilaporkan oleh masyarakat, maka dengan sendirinya akan mengendap dan hilang seperti ditelan angin. Pada sisi lainnya, The Boston Globe yang juga merasakan tantangan hadirnya media internet membutuhkan sebuah pemberitaan yang tidak hanya bombastis namun juga fenomenal. Maka, seorang redaktur baru yang bernama Marty Baron pun memutuskan untuk mengangkat kisah ini sebagai berita utama.

Proses jalannya investigasi bukannya mudah. Tim Spotlight banyak sekali menemui hambatan baik dari pemerintah dalam hal ini institusi hukum, Gereja, bahkan korban-korban pelecehan yang mereka telusuri. Mau tidak mau, tim Spotlight pun harus mengurai satu-persatu kasus skandal pelecehan seksual para pemimpin Gereja selama 30 tahun terakhir. Selain itu, tim Spotlight juga harus tetap menjaga kerahasiaan investigasi mereka agar tidak “dicuri” oleh media berita lainnya yang kala itu juga “haus” akan berita-berita bombastis dan fenomenal. Jargon ‘The Bad News is a Good News’ tampaknya berlaku pada babak ini.

Singkat cerita setelah melalui perjuangan yang panjang, investigasi Spotlight pun sampai pada titik terang dimana kebenaran mulai terungkap. Banyak pihak yang akhirnya mendukung The Boston Globe untuk mengangkat kisah ini dalam pemberitaan. Laporan pun mereka rangkai dan akhirnya terbit dalam bentuk berita utama. Tidak hanya sampai disitu, ternyata investigasi mereka menjadi pintu awal yang membuka hampir seluruh kasus pelecehan seksual oleh oknum Pastor Gereja Katolik yang terjadi secara sistematis di seluruh pelosok dunia. Bahkan, tim Spotlight berhasil dianugerahi penghargaan tertinggi insan jurnalistik Pulitzer Prize for Public Service pada tahun 2003.

Film Spotlight ini memang layak atas penghargaan Film Terbaik Oscar 2016. Tidak hanya disampaikan dengan kemasan penuturan yang rapih dan sangat jelas, film ini juga dimainkan oleh para actor / aktris kawakan Holywood yang tidak diragukan lagi kemampuan aktingnya seperti Michael Keaton (Birdman), Mark Ruffalo (Hulk), atau Rachel McAddams (Southpaw). Padahal, apa yang disampaikan dalam film ini bukanlah sesuatu yang mudah disampaikan dan cukup mendapat banyak tantangan dari masyarakat awam. Namun, pada akhirnya film ini pun mendulang sebuah sukses besar diantara film-film lain yang diangkat dari kisah nyata.

Bagi saya pribadi, film ini merupakan sebuah informasi sekaligus bahan perenungan atas apa yang terjadi di sistem kehidupan manusia hari-hari terakhir ini. Hampir di seluruh pelosok dunia ini, sebuah institusi mayoritas yang memiliki peran besar dalam sistem kemasyarakatan ternyata mampu “mengatur” jalannya kehidupan masyarakat. Sekalipun berbasiskan agama, institusi ini tidak lepas dari berbagai kemunafikan. Sekalipun mereka memiliki kekuatan untuk lolos dari jeratan hukum, pada akhirnya bau busuk “bangkai” akan tetap tercium.

Spotlight adalah film yang sangat baik untuk disaksikan. Selain kita terhibur, dapat informasi, film tersebut juga memberikan refleksi untuk kita renungkan atas kenyataan yang terjadi dalam sistem masyarakat di seluruh dunia pada umumnya. Spotlight juga adalah film yang berkaitan dengan jurnalistik.

Sinopsis Cerita
Director: Tom McCarthy
Writers: Tom McCarthy, Josh Singer
Stars: Rachel McAdams, Mark Ruffalo, Michael Keaton

Pemain Film Spotlight:
Mark Ruffalo sebagai Michael Rezendes.
Michael Keaton sebagai Walter Robinson.
Rachel McAdams sebagai Sacha Pfeiffer.
Brian d'Arcy James sebagai Matt Carroll.
Gene Amoroso sebagai Steve Kurkjian.

Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Spotlight merupakan sebuah film yang mengangkat kisah para wartawan di harian The Boston Globe pada tahun 2001. Spotlight diambil dari nama tim wartawan investigasi, pada media massa tertua di Amerika tersebut.

Cerita berawal dari kehadiran Marty Baron (Liev Schreiber), pemimpin redaksi baru di The Boston Globe, yang ingin mengungkap kasus pelecehan seksual yang terjadi pada 80 anak laki-laki di Boston. Pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh pastor di gereja katolik, John Geoghan. Usulan ini menjadi sebuah tantangan yang membuat tim Spotlight merasa bersemangat. Upaya penyelidikan menjadi rumit karena pihak gereja katolik menutup-nutupi kasus ini dari publik. Pengadilan pun memutuskan untuk menutup kasus ini dan membiarkannya menguap begitu saja.

Namun, kendala tersebut tidak membuat Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan anggota tim Spotlight lainnya menyerah. Di bawah pimpinan editor Walter Robinson (Michael Keaton), mereka dengan giat mencari saksi atas kasus pelecehan yang telah terjadi. Semua anggota tim Spotlight menunjukkan integritasnya sebagai jurnalis. Hingga kemudian, satu demi satu bukti berhasil mereka dapatkan. Apakah segala upaya mereka berhasil mengungkap kasus sensitif tersebut?

Film ini dinominasikan sebagai film terbaik dalam ajang bergengsi Academy Awards, yang akan digelar pada 28 Februari mendatang. Film berdurasi 128 menit ini, akan membawa penonton menghadapi situasi yang mendebarkan saat para jurnalis mencari berbagai bukti. Anda juga akan tahu bagaimana pendekatan yang dilakukan agar para saksi korban pelecehan mau memberikan keterangan. Tidak mudah memang mengungkap kasus yang telah terkubur selama puluhan tahun.

Film bergaya investigasi ini sangat berhasil mengadaptasi kejadian nyata yang terjadi. Mark Ruffalo dan Rachel McAdams bahkan termasuk juga dalam jajaran nominasi Piala Oscar. Meski durasi film cukup panjang, penonton dijamin tidak akan merasa bosan mengikuti perjalanan cerita film ini. Film ini juga dinilai cukup berani karena menyinggung beberapa lembaga di Boston yang memanfaatkan kekuasaannya untuk berbuat tidak adil.

Pendapat
Pada pendapat saya, film Spotlight ini menceritakan kisah nyata tentang betapa gigihnya kerja para wartawan koran Boston Globe mengungkap kebenaran. Film ini banyak berbicara tentang semua isntitusi keagamaan. Institusi keagaamaan seharusnya bukan cuma berbicara tentnag “kebenaran teologis”, tetapi juga berbicara benar kalua sudah menyangkut reality, data dan fakta. Jika institusi keagamaan menutup reality, apalagi memalsukan data dan fakta supaya terlihat kudus dan sempurna atau supaya cocok dengan teologinya, boleh mengakibatkan fatal. Orang-orang yang kritis akan menemukan keagamaan justeru di luar institusi keagamaan. Dampaknya akan muncul sikap skiptis dan tidak percaya lagi pada agama itu.

Film ini juga berbicara tentang betapa pentingnya sebuah laporan jurnalistik yang benar dan berkualitas. Public membutuhkan berita dan laporan yang benar didasarkan atas data dan fakta, bukan ‘kata akan pejabat ini’ atau ‘apa kata organisasi itu’. Pengumpulan data dan fakta ini pun perlu dilakukan secara professional, obyektif, akuntabel, tanpa agenda tertentu sehingga laporannya tidak bias. Di Indonesia, karya jurnalistik semacam ini langka. Banyak media Cuma memberitahukan hal-hal bombatis tanpa berfikir panjang karena mengejar tayang tersebut. Hari ini kita membutuhkan institusi keagamaan yang mau terbuka terhadap kebenaran yang didasarkan data dan fakta bukan cuma kebenaran teologis.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan